Medan, Tersiar.com - Mantan Pemain Timnas Indonesia U-20 tahun 2005, Irfan Raditya, memberikan kesaksian dalam persidangan kasus dugaan korupsi pembangunan tembok pagar dan gapura Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN SU) tahun anggaran 2020.
Pria berusia 36 tahun ini hadir sebagai saksi untuk lima terdakwa, yakni Zainul Fuad (57) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Irwansyah (54) sebagai Agen Pengadaan Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ), Surbakti (46) sebagai Konsultan Perencana dan Pengawas, Mulyadi (40) sebagai pelaksana pekerjaan rehabilitasi pagar, dan Muhammad Yusuf (39), yang menyediakan perusahaan Konsultan Pengawas dan Perencana untuk proyek tersebut.
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Nani Sukmawati, Irfan mengaku tidak mengetahui banyak tentang proyek ini. Ia mengungkapkan bahwa dirinya hanya diajak oleh dua orang temannya, Endru dan Zino, untuk bergabung dalam proyek pembangunan gapura UIN SU di Medan.
"Saya waktu itu sedang butuh uang karena istri saya baru melahirkan. Kebetulan, Endru dan Zino mengajak saya untuk bekerja di proyek UIN itu," ujarnya saat sidang di Ruang Sidang Cakra 9, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Medan, Kamis (14/11/2024).
Irfan, yang memutuskan gantung sepatu pada tahun 2017 dan sempat bekerja sebagai pengemudi ojek online di Medan, mengaku bahwa Zino menemuinya saat ia sedang menunggu penumpang di daerah Johor. Setelah itu, Endru juga menghubungi dan menawarkan pekerjaan yang sama di proyek UIN SU, Tuntungan.
Ketika ditanya oleh tim penasihat hukum terdakwa, yakni Sharul Sihotang dan Rekan, mengenai hubungannya dengan Endru dan Zino, Irfan menjelaskan bahwa ia sudah berteman lama dengan Endru sejak sekolah dasar, sementara Zino baru dikenalnya beberapa tahun lalu.
Dia juga menyebut bahwa dirinya diajak menandatangani akta di kantor notaris di Medan, yang membuatnya diangkat sebagai Wakil Direktur CV Qasrina.
"Saya hanya bertugas mencatat kehadiran pekerja dan barang yang masuk. Saya tidak tahu siapa direktur dari perusahaan ini," jelas Irfan, seraya menambahkan bahwa ia menerima honor Rp600 ribu per minggu selama bekerja tiga bulan dari Oktober hingga Desember.
Hakim anggota, As'ad Rahim Lubis, dan dua hakim lainnya terlihat serius mendengar kesaksian Irfan. Lalu hakim As'ad pun mempertanyakan status kedua rekan Irfan, Endru dan Zino, yang belum dimintai keterangan dalam perkara ini.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tantra Ginting dari Cabjari pada Kejari Deliserdang di Pancurbatu mengungkapkan bahwa pihaknya telah berusaha mencari Zino, tetapi hingga kini tidak berhasil menemukannya.
"Kami sudah mencari ke rumahnya, namun tidak ditemukan. Kami baru mendapatkan informasi bahwa rumah orang tuanya ada di Batubara, dan akan kami cari lagi," ujar JPU Tantra.
Hakim As'ad menekankan pentingnya kehadiran kedua orang tersebut dalam persidangan ini. Ia mengkritik keputusan untuk menetapkan Irfan sebagai tersangka tanpa memeriksa rekan-rekannya yang diduga lebih mengetahui detail proyek tersebut.
"Kalau mau adil, wakil-wakil direktur lainnya juga harus dijadikan tersangka. Jangan hanya orang yang tidak tahu apa-apa seperti dia (menunjuk Irfan) dijadikan terdakwa, sementara yang lain bebas di luar," ujar As'ad.
Hakim anggota lainnya, Ibnu Kholik, juga menyampaikan keprihatinan terhadap Irfan yang pernah menjadi atlet sepak bola profesional dan membela Timnas Indonesia di berbagai level usia, termasuk U-19, U-20, U-23, dan tim senior.
Ibnu mempertanyakan relevansi keterlibatan Irfan dalam proyek pembangunan tersebut.
"Tadi karena anda bilang sebenarnya pekerjaan anda pesebakbola profesional, makanya saya langsung searcing ke Google. Ternyata benar. Jadi pak jaksa, dia sudah berkontribusi untuk negara sebagai pesepak bola profesional. Apa hubungannya main bola dengan proyek ini?" tanyanya.
Dalam pernyataannya, Irfan menyebutkan bahwa ia pernah bergabung dengan klub-klub ternama seperti Persiraja Banda Aceh, PSDP Deliserdang, Arema Malang, Persema, Mitra Kukar, dan PSM Makassar, dengan kontrak tertinggi senilai Rp600 juta saat bermain untuk Arema.
Hakim ketua kemudian bertanya mengapa Irfan mau bekerja dengan bayaran Rp600 ribu per minggu, jauh di bawah pendapatan saat menjadi pemain sepak bola profesional. Irfan menjelaskan bahwa ia menerima tawaran tersebut karena desakan ekonomi.
"Saat itu, saya bekerja sebagai pengemudi ojek online, dan istri saya baru saja melahirkan. Saya butuh uang, dan tawaran dari Endru dan Zino dengan gaji Rp600 ribu per minggu cukup membantu," ungkapnya.
Saat ditanya tentang pencairan pembayaran proyek, Irfan mengatakan bahwa setiap kali ia mengambil uang ke bank, Endru dan Zino selalu mendampinginya, dan uang tersebut langsung diserahkan kepada keduanya.
"Uang itu hanya di tangan saya saat di bank. Sebelum meninggalkan bank, uang itu sudah saya serahkan langsung ke mereka. Jadi uang itu tidak saya pegang lagi setelah keluar bank," jelasnya.
Hakim ketua Nani Sukmawati juga menghitung bahwa dengan bayaran Rp600 ribu per minggu selama sekitar tiga bulan, Irfan hanya memperoleh Rp5 juta. "Kurang lebih segitu, Majelis," jawab Irfan. (*)
Pria berusia 36 tahun ini hadir sebagai saksi untuk lima terdakwa, yakni Zainul Fuad (57) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Irwansyah (54) sebagai Agen Pengadaan Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ), Surbakti (46) sebagai Konsultan Perencana dan Pengawas, Mulyadi (40) sebagai pelaksana pekerjaan rehabilitasi pagar, dan Muhammad Yusuf (39), yang menyediakan perusahaan Konsultan Pengawas dan Perencana untuk proyek tersebut.
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Nani Sukmawati, Irfan mengaku tidak mengetahui banyak tentang proyek ini. Ia mengungkapkan bahwa dirinya hanya diajak oleh dua orang temannya, Endru dan Zino, untuk bergabung dalam proyek pembangunan gapura UIN SU di Medan.
"Saya waktu itu sedang butuh uang karena istri saya baru melahirkan. Kebetulan, Endru dan Zino mengajak saya untuk bekerja di proyek UIN itu," ujarnya saat sidang di Ruang Sidang Cakra 9, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Medan, Kamis (14/11/2024).
Irfan, yang memutuskan gantung sepatu pada tahun 2017 dan sempat bekerja sebagai pengemudi ojek online di Medan, mengaku bahwa Zino menemuinya saat ia sedang menunggu penumpang di daerah Johor. Setelah itu, Endru juga menghubungi dan menawarkan pekerjaan yang sama di proyek UIN SU, Tuntungan.
Ketika ditanya oleh tim penasihat hukum terdakwa, yakni Sharul Sihotang dan Rekan, mengenai hubungannya dengan Endru dan Zino, Irfan menjelaskan bahwa ia sudah berteman lama dengan Endru sejak sekolah dasar, sementara Zino baru dikenalnya beberapa tahun lalu.
Dia juga menyebut bahwa dirinya diajak menandatangani akta di kantor notaris di Medan, yang membuatnya diangkat sebagai Wakil Direktur CV Qasrina.
"Saya hanya bertugas mencatat kehadiran pekerja dan barang yang masuk. Saya tidak tahu siapa direktur dari perusahaan ini," jelas Irfan, seraya menambahkan bahwa ia menerima honor Rp600 ribu per minggu selama bekerja tiga bulan dari Oktober hingga Desember.
Hakim anggota, As'ad Rahim Lubis, dan dua hakim lainnya terlihat serius mendengar kesaksian Irfan. Lalu hakim As'ad pun mempertanyakan status kedua rekan Irfan, Endru dan Zino, yang belum dimintai keterangan dalam perkara ini.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tantra Ginting dari Cabjari pada Kejari Deliserdang di Pancurbatu mengungkapkan bahwa pihaknya telah berusaha mencari Zino, tetapi hingga kini tidak berhasil menemukannya.
"Kami sudah mencari ke rumahnya, namun tidak ditemukan. Kami baru mendapatkan informasi bahwa rumah orang tuanya ada di Batubara, dan akan kami cari lagi," ujar JPU Tantra.
Hakim As'ad menekankan pentingnya kehadiran kedua orang tersebut dalam persidangan ini. Ia mengkritik keputusan untuk menetapkan Irfan sebagai tersangka tanpa memeriksa rekan-rekannya yang diduga lebih mengetahui detail proyek tersebut.
"Kalau mau adil, wakil-wakil direktur lainnya juga harus dijadikan tersangka. Jangan hanya orang yang tidak tahu apa-apa seperti dia (menunjuk Irfan) dijadikan terdakwa, sementara yang lain bebas di luar," ujar As'ad.
Hakim anggota lainnya, Ibnu Kholik, juga menyampaikan keprihatinan terhadap Irfan yang pernah menjadi atlet sepak bola profesional dan membela Timnas Indonesia di berbagai level usia, termasuk U-19, U-20, U-23, dan tim senior.
Ibnu mempertanyakan relevansi keterlibatan Irfan dalam proyek pembangunan tersebut.
"Tadi karena anda bilang sebenarnya pekerjaan anda pesebakbola profesional, makanya saya langsung searcing ke Google. Ternyata benar. Jadi pak jaksa, dia sudah berkontribusi untuk negara sebagai pesepak bola profesional. Apa hubungannya main bola dengan proyek ini?" tanyanya.
Dalam pernyataannya, Irfan menyebutkan bahwa ia pernah bergabung dengan klub-klub ternama seperti Persiraja Banda Aceh, PSDP Deliserdang, Arema Malang, Persema, Mitra Kukar, dan PSM Makassar, dengan kontrak tertinggi senilai Rp600 juta saat bermain untuk Arema.
Hakim ketua kemudian bertanya mengapa Irfan mau bekerja dengan bayaran Rp600 ribu per minggu, jauh di bawah pendapatan saat menjadi pemain sepak bola profesional. Irfan menjelaskan bahwa ia menerima tawaran tersebut karena desakan ekonomi.
"Saat itu, saya bekerja sebagai pengemudi ojek online, dan istri saya baru saja melahirkan. Saya butuh uang, dan tawaran dari Endru dan Zino dengan gaji Rp600 ribu per minggu cukup membantu," ungkapnya.
Saat ditanya tentang pencairan pembayaran proyek, Irfan mengatakan bahwa setiap kali ia mengambil uang ke bank, Endru dan Zino selalu mendampinginya, dan uang tersebut langsung diserahkan kepada keduanya.
"Uang itu hanya di tangan saya saat di bank. Sebelum meninggalkan bank, uang itu sudah saya serahkan langsung ke mereka. Jadi uang itu tidak saya pegang lagi setelah keluar bank," jelasnya.
Hakim ketua Nani Sukmawati juga menghitung bahwa dengan bayaran Rp600 ribu per minggu selama sekitar tiga bulan, Irfan hanya memperoleh Rp5 juta. "Kurang lebih segitu, Majelis," jawab Irfan. (*)