Medan, Tersiar.com - Asisten Manager Penyiapan Armada PT Pelindo I Cabang Belawan, Darul Ichran, memberikan kesaksian dalam sidang kasus dugaan korupsi kredit macet senilai Rp4,48 miliar di Bank Sumut Syariah cabang Medan yang melibatkan terdakwa Ikhsan Bohari.
Persidangan digelar di ruang Cakra VIII, Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jumat (8/11/2024).
Darul Ichran mengungkapkan bahwa proyek perbaikan kapal (docking) antara PT Pelindo I Belawan dan perusahaan milik terdakwa, CV Gambir Mas Pangkalan, hanya terealisasi 30 persen.
Sementara itu, PT Pelindo baru membayarkan 20 persen dari nilai kontrak. Karena pekerjaan tak kunjung selesai, PT Pelindo memutuskan kontrak dengan perusahaan terdakwa.
"Kami hanya membayar 20 persen karena pekerjaan tidak selesai, dan akhirnya kami memutuskan hubungan kontrak dengan terdakwa," ujar Darul di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Andriansyah.
Terdakwa Ikhsan Bohari, yang juga merupakan Wakil Direktur CV Gambir Mas Pangkalan, menanggapi bahwa keterlambatan proyek disebabkan oleh sulitnya memperoleh suku cadang dari Jakarta.
Meski demikian, kapal tetap dipindahkan dari lokasi docking karena PT Pelindo membutuhkan perbaikan segera oleh perusahaan lain.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fauzan Irgi Hasibuan dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan memaparkan bahwa terdakwa tidak hanya terlibat dalam proyek gagal tersebut, tetapi juga diduga melakukan pemalsuan dokumen untuk mengajukan fasilitas kredit di Bank Sumut Syariah cabang Medan selama periode 2017-2019.
Ikhsan Bohari, yang berdomisili di Kota Harapan Indah, Bekasi, mengajukan sembilan fasilitas kredit menggunakan tiga perusahaan: PT Bohari Mandiri Bersaudara, PT Bahari Samudra Sentosa, dan CV Gambir Mas Pangkalan. Total kredit yang diajukan mencapai Rp17,9 miliar lebih.
"Terdakwa memalsukan dokumen kontrak kerja dan pembelian barang untuk mengajukan pinjaman. Kredit tersebut macet, meskipun terdakwa sempat mengembalikan Rp7,7 miliar lebih, masih ada selisih pokok kredit yang belum dilunasi," jelas JPU Fauzan.
Audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyebutkan bahwa tindakan terdakwa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp4,486 miliar.
Perbuatan terdakwa dijerat dengan Pasal 2 subsider Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sidang ditunda dan akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi tambahan. (*)
Persidangan digelar di ruang Cakra VIII, Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jumat (8/11/2024).
Darul Ichran mengungkapkan bahwa proyek perbaikan kapal (docking) antara PT Pelindo I Belawan dan perusahaan milik terdakwa, CV Gambir Mas Pangkalan, hanya terealisasi 30 persen.
Sementara itu, PT Pelindo baru membayarkan 20 persen dari nilai kontrak. Karena pekerjaan tak kunjung selesai, PT Pelindo memutuskan kontrak dengan perusahaan terdakwa.
"Kami hanya membayar 20 persen karena pekerjaan tidak selesai, dan akhirnya kami memutuskan hubungan kontrak dengan terdakwa," ujar Darul di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Andriansyah.
Terdakwa Ikhsan Bohari, yang juga merupakan Wakil Direktur CV Gambir Mas Pangkalan, menanggapi bahwa keterlambatan proyek disebabkan oleh sulitnya memperoleh suku cadang dari Jakarta.
Meski demikian, kapal tetap dipindahkan dari lokasi docking karena PT Pelindo membutuhkan perbaikan segera oleh perusahaan lain.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fauzan Irgi Hasibuan dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan memaparkan bahwa terdakwa tidak hanya terlibat dalam proyek gagal tersebut, tetapi juga diduga melakukan pemalsuan dokumen untuk mengajukan fasilitas kredit di Bank Sumut Syariah cabang Medan selama periode 2017-2019.
Ikhsan Bohari, yang berdomisili di Kota Harapan Indah, Bekasi, mengajukan sembilan fasilitas kredit menggunakan tiga perusahaan: PT Bohari Mandiri Bersaudara, PT Bahari Samudra Sentosa, dan CV Gambir Mas Pangkalan. Total kredit yang diajukan mencapai Rp17,9 miliar lebih.
"Terdakwa memalsukan dokumen kontrak kerja dan pembelian barang untuk mengajukan pinjaman. Kredit tersebut macet, meskipun terdakwa sempat mengembalikan Rp7,7 miliar lebih, masih ada selisih pokok kredit yang belum dilunasi," jelas JPU Fauzan.
Audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyebutkan bahwa tindakan terdakwa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp4,486 miliar.
Perbuatan terdakwa dijerat dengan Pasal 2 subsider Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sidang ditunda dan akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi tambahan. (*)