New York – Siapa sangka, China pernah memiliki seorang Ibu Negara yang lahir di Semarang, Indonesia. Dia adalah Oei Hui-lan, putri dari taipan legendaris Oei Tiong Ham, yang dikenal dunia sebagai "Raja Gula" dengan kekayaan luar biasa di zamannya.
Lahir pada 21 Desember 1889, Hui-lan tumbuh dalam kemewahan yang sulit dibayangkan. Ia hidup di rumah seluas 80 hektare di Semarang, lengkap dengan vila pribadi dan puluhan pelayan.
Peralatan makannya dari emas, dan setiap ulang tahun dirayakan dengan pesta akbar bertabur tamu penting serta hiburan kelas atas.
Ayahnya, Oei Tiong Ham, adalah salah satu konglomerat terkaya di Asia Tenggara saat itu. Ia tak segan menggelontorkan dana besar demi merayakan ulang tahun putrinya dengan kemegahan luar biasa.
“Ayah ingin ulang tahunku tak terlupakan, berapapun biayanya,” tulis Hui-lan dalam memoarnya.
Dari Semarang ke Istana China
Setahun setelah menikah, Wellington Koo menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan Republik China. Dan pada tahun 1926, usai wafatnya Presiden Sun Yat Sen, Koo sempat menjabat sebagai Pelaksana Tugas Presiden.
Status itu otomatis menjadikan Hui-lan sebagai Ibu Negara China—satu-satunya perempuan Indonesia yang pernah mengemban peran tersebut.
Sebagai Ibu Negara, Hui-lan dikenal berwawasan luas dan berpenampilan elegan.
Ia mendampingi suaminya dalam berbagai misi diplomatik, termasuk ke Paris, Jenewa, dan New York. Sosoknya mencuri perhatian sebagai representasi perempuan Asia modern pada era itu.
Hidup Berpindah dan Akhir yang Sepi
Setelah Koo turun dari jabatan pada 1927, kehidupan mereka berpindah-pindah, dari Shanghai ke Paris hingga London. Namun, kebersamaan mereka tak bertahan lama. Pada 1958, pasangan ini resmi bercerai. Hui-lan kemudian menetap di New York, membesarkan anak-anaknya sendiri.
Meski jauh dari tanah kelahiran, Hui-lan tetap mencintai Indonesia.
Ia sempat mencoba berbisnis kembali di tanah air—di bidang kapal, tembakau, hingga sepeda—namun tak berhasil.
Oei Hui-lan meninggal dunia pada tahun 1992, di usia 102 tahun, di New York. Ia meninggalkan dunia sejauh 16 ribu kilometer dari tempat ia lahir: Semarang.
Jejak yang Tak Terlupakan
Kisah hidupnya terdokumentasi dalam buku memoar berjudul Kisah Putri Sang Raja Gula dari Semarang.
Meskipun namanya kini tak banyak dikenal, warisan kisahnya tetap menjadi inspirasi: tentang bagaimana seorang perempuan Indonesia mampu menapaki panggung sejarah dunia.
Dari Semarang ke Istana China, dari putri pengusaha menjadi Ibu Negara—Oei Hui-lan adalah nama yang layak dikenang. (*)
Lahir pada 21 Desember 1889, Hui-lan tumbuh dalam kemewahan yang sulit dibayangkan. Ia hidup di rumah seluas 80 hektare di Semarang, lengkap dengan vila pribadi dan puluhan pelayan.
Peralatan makannya dari emas, dan setiap ulang tahun dirayakan dengan pesta akbar bertabur tamu penting serta hiburan kelas atas.
Ayahnya, Oei Tiong Ham, adalah salah satu konglomerat terkaya di Asia Tenggara saat itu. Ia tak segan menggelontorkan dana besar demi merayakan ulang tahun putrinya dengan kemegahan luar biasa.
“Ayah ingin ulang tahunku tak terlupakan, berapapun biayanya,” tulis Hui-lan dalam memoarnya.
Dari Semarang ke Istana China
Baca Juga:
Resmi Akuisisi BVIS, BTN Bidik BTN Syariah Jadi Bank Syariah Nomor Dua Terbesar di Indonesia
Kehidupan Hui-lan berubah saat ia pindah ke London bersama ibunya. Di kota inilah ia bertemu diplomat China terkemuka, Wellington Koo, pada awal 1920-an. Keduanya saat itu sudah pernah menikah dan menjanda. Hubungan mereka berlanjut ke jenjang pernikahan pada tahun 1921 di Brussel.
Resmi Akuisisi BVIS, BTN Bidik BTN Syariah Jadi Bank Syariah Nomor Dua Terbesar di Indonesia
Setahun setelah menikah, Wellington Koo menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan Republik China. Dan pada tahun 1926, usai wafatnya Presiden Sun Yat Sen, Koo sempat menjabat sebagai Pelaksana Tugas Presiden.
Status itu otomatis menjadikan Hui-lan sebagai Ibu Negara China—satu-satunya perempuan Indonesia yang pernah mengemban peran tersebut.
Sebagai Ibu Negara, Hui-lan dikenal berwawasan luas dan berpenampilan elegan.
Ia mendampingi suaminya dalam berbagai misi diplomatik, termasuk ke Paris, Jenewa, dan New York. Sosoknya mencuri perhatian sebagai representasi perempuan Asia modern pada era itu.
Hidup Berpindah dan Akhir yang Sepi
Setelah Koo turun dari jabatan pada 1927, kehidupan mereka berpindah-pindah, dari Shanghai ke Paris hingga London. Namun, kebersamaan mereka tak bertahan lama. Pada 1958, pasangan ini resmi bercerai. Hui-lan kemudian menetap di New York, membesarkan anak-anaknya sendiri.
Meski jauh dari tanah kelahiran, Hui-lan tetap mencintai Indonesia.
Ia sempat mencoba berbisnis kembali di tanah air—di bidang kapal, tembakau, hingga sepeda—namun tak berhasil.
Oei Hui-lan meninggal dunia pada tahun 1992, di usia 102 tahun, di New York. Ia meninggalkan dunia sejauh 16 ribu kilometer dari tempat ia lahir: Semarang.
Jejak yang Tak Terlupakan
Kisah hidupnya terdokumentasi dalam buku memoar berjudul Kisah Putri Sang Raja Gula dari Semarang.
Meskipun namanya kini tak banyak dikenal, warisan kisahnya tetap menjadi inspirasi: tentang bagaimana seorang perempuan Indonesia mampu menapaki panggung sejarah dunia.
Dari Semarang ke Istana China, dari putri pengusaha menjadi Ibu Negara—Oei Hui-lan adalah nama yang layak dikenang. (*)